Halo, sobat surya! kalian pasti sudah nggak asing lagi ya terkait transisi energi di dunia? dari yang ga terbarukan jadi energi terbarukan, dari yang terbatas jadi energi yang tidak terbatas, dan dari yang tidak ramah lingkungan jadi energi yang ramah lingkungan. Di negara kita ini sumber energi terbarukan sangatlah melimpah. Dimulai dari panas matahari yang terik sepanjang tahun, angin yang melimpah di seluruh wilayah Indonesia, sumber daya air yang tidak terbatas, dan lain sebagainya. Tapi kenapa ya transisi energi di negara kita ini masih sulit untuk dilakukan?
sebelum itu, kita bahas terkait energi dulu ya. Apa sih energi itu? Mengapa transisi energi penting untuk dilakukan?
Jadi, benda-benda yang kita gunakan seperti gadget, laptop, dan alat elektronik lainnya itu semua membutuhkan energi. Lampu-lampu yang menyala di jalan, kendaraan yang kita gunakan, semuanya membutuhkan energi. Nah, pertanyaannya energi dapat darimana sih? Energi ini dapat diperoleh dari banyak sumber. Seperti matahari, angin, udara, gelombang laut, nuklir, panas bumi, fosil, dan masih banyak lagi. Yang paling populer itu, energi fosil kaya batu bara dan minyak bumi. Ini semua ada di dalam perut bumi yang sifatnya mudah terbakar. Hasil pembakarannya bisa diubah menjadi listrik dan bensin. Lalu mengapa ada wacana transisi sumber energi?
Di peradaban modern ini, hampir semuanya bergantung sama bahan bakar yang ketersediaannya terbatas. Dan menghasilkan emisi zat polutan yang sangat berbahaya bagi lingkungan. Energi fosil juga memerlukan waktu yang lama untuk terbentuk, dan jumlahnya sangat terbatas. Di prediksi cuma beberapa puluh tahun kedepan, energi fosil udah gak bisa lagi buat nopang kebutuhan energi di seluruh dunia yang terus bertambah seiring dengan bertambahnya populasi manusia. Disisi lain, energi fosil itu sangat berbahaya bagi lingkungan.
Menurut data Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), tingkat konsentrasi karbon dioksida (Co2) di atmosfer global sudah mencapai rata-rata 417,6 part per Million (ppm) pada 17 Mei 2022. Angka tersebut sudah naik sekitar 6,2% dibandingkan tahun 2011. Peningkatan itu juga konsisten terjadi setiap tahun, seperti terlihat pada grafik. Peningkatan kadar Co2 ini salah satunya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Peningkatan zat polutan ini juga disebabkan oleh kerusakan lingkungan lain, yang berdampak pada kehidupan manusia. Seperti tercemarnya sumber air bersih, rusaknya ketahanan pangan, dan juga rusaknya lingkungan tempat kita dapetin sumber-sumber makanan dari alam.
Menurut penelitian dari deloitte, konsep transisi energi ini tidak berlaku, maka kerusakan lingkungan dan dampak turunannya bisa nimbulin kerugian finansial sebesar $178 triliun atau setara dengan Rp.2,6 kuintiliun sampai dengan 50 tahun ke depan.
Mungkin dari sekarang sobat surya kepikiran kalau begitu solusinya tinggal kita ganti aja energi tak terbarukan menjadi energi terbarukan. Yap betul sekali, hanya saja proses transisi energi tidak semudah yang kita bayangkan. Ada beberapa tantangan yang perlu kita ketahui.
Tiga tantangan utama dalam transisi energi yang melibatkan pelestarian sumber energi konvensional menuju sumber energi terbarukan dan berkelanjutan, antara lain:
1. Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil
Hampir seluruh negara di dunia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. disisi lain berdasarkan laporan dari REN21 Global Status Report tahun 2020, sumber EBT itu baru mencakup 11% dari konsumsi energi dunia dari tahun 2018. Dan di tahun 2019, sumber energi ini hanya mencakup 27% dari produksi energi dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri berdasarkan Katadata Insight Center dan asosiasi produsen swasta Indonesia produksi EBT tahun 2018 itu baru sekitar 14% dari produksi energi nasional. Dengan kondisi energi fosil yang masih sangat dominan, tentu transisinya perlu berproses secara bertahap.
2. Infrastruktur Energi yang Tidak Memadai
Nah, kalo mau buat industri baru, memang butuh biaya lebih besar dibandingkan ngejalanin yang udah ada. Industri energi fosil itu udah kayak senior-senior gitu, teknologinya udah mantap, operasionalnya juga udah jalan efisien. Jadi, risikonya buat jangka pendek, proyek energi fosil ini lebih aman. Tapi, kalo ngomongin energi terbarukan, itu mungkin baru masuk dunia perindustrian. Infrastrukturnya masih baru, distribusinya juga belum maksimal, dan teknologinya jauh berbeda. SDM-nya juga masih belajar banyak soal ini. Diperkirakan investasi di sini kayaknya baru balik modal setelah 7 tahun atau mungkin lebih lama, deh. Ini nyambung ke tantangan nomor 3, yaitu tentang uang.
3. Harga dan Keberlanjutan Finansial
Bangun industri baru itu banyak tantangannya, baik dari segi teknis maupun permodalan. Teknologinya baru, SDM masih berkembang, sehingga banyak bank tidak mau mengambil risiko membantu industri baru ini. Lihat aja data kebutuhan investasi energi, investasi buat energi baru terbarukan (EBT) lebih mahal daripada energi fosil. Misalnya, untuk membangun EBT butuh investasi USD 72.5 Miliar buat kapasitas 35 gigawatt, sementara energi fosil cuma butuh USD 58.6 Miliar buat kapasitas 47.5 gigawatt. Jadi, meskipun dananya lebih kecil, energi fosil dapat menghasilkan kapasitas lebih besar.
Masalahnya lagi, bank di Indonesia biasanya ngasih pinjaman cuma 5-8 tahun, sementara proyek EBT butuh duit besar dan tenor di atas 10 tahun. Kebanyakan pinjaman obligasi perusahaan di Indonesia juga belum cukup buat ngebiayain proyek EBT yang membutuhkan duit banyak dan tenor lama. Pada tahun 2018, pendanaan ke sektor EBT hanya 11% dari bank kredit, namun kita juga belum mengetahui prospek banknya. Mereka juga mempunyai tanggung jawab sama dana nasabah dan investor, harus mengelola duit dengan baik dan risiko terjaga.
Jadi, proses perpindahan ke EBT masih mengalami kesulitan di bagian permodalan, padahal Indonesia mempunyai banyak potensi energi terbarukan. Dari matahari yang terus terang, pantai terpanjang di dunia yang bisa diambil energi dari ombaknya, gas bumi yang banyak, sampai angin yang melimpah. Kalau dihitung, potensinya bisa sampai 441 gigawatt atau 7 kali lipat produksi listrik nasional di tahun 2018. Intinya, banyak potensi tapi tantangannya dari segi uang.
Jadi, sampe kapan sih kita mau nunda buat industri EBT kita? Lihat aja negara-negara lain udah action, kayak Jepang, China, Malaysia, dan Thailand. Kita mau nyia-nyiain potensi alam kita yang kaya akan sumber energi EBT ini sampe kapan?
Harusnya kita juga sadar kalo ada waktu buat ubah, hadapin risiko, dan siap dapetin keuntungan yang dikit demi mencapai tujuan gede dan bermanfaat buat masa depan panjang. Meski sampai saat ini masih ada yang ragu, namun ada juga bank yang sudah berani mengambil langkah positif. Salah satunya Bank Mandiri dengan produk green bond-nya. Mereka sudah salurin duit gede buat proyek-proyek bersih dan ramah lingkungan.
Lihat aja, udah bantu proyek PLTA Malea, PLTA Kerinci, PLTA Poso, dan PLTP. Ini udah bikin listrik buat 1,1 juta rumah di Indonesia guys! Jumlahnya gila kan? Selain itu, mereka juga berusaha mengurangi emisi gas rumah kaca setara 1,8 juta ton Co2. Dengan mengelola risiko dan mengatur pembiayaan sesuai dengan agenda pemerintah untuk transisi energi, Bank Mandiri berusaha membuat jalan yang lebih jelas untuk pengembang proyek EBT.
Pelan-pelan, Bank Mandiri punya rencana mau mencapai net zero emisi di tahun 2030. Semoga, dengan semua upaya ini, banyak lembaga keuangan lain yang ikut berkontribusi buat proses transisi energi yang bersih, sehat, dan bertanggung jawab. Yuk selamatkan bumi kita!